Budaya ini rutin dilakukan oleh masyarakat pesisir pantai, tepatnya setiap tanggal 15 syuro penanggalan Jawa atau 15 Muharram dalam penanggalan Hijriah bertepatan dengan pasang air laut. Budaya ini dilakukan dengan langkah pertama mengarak sesaji yang ditaruh dari rumah sesepuh menuju TPI untuk di larung ke tengah segara. Sesaji yang ada ini terdiri dari kepala kambing atau sapi, berbagai macam kue, Buah-buahan, pancing emas candu dan dua ekor ayam jantan yang masih hidup ini semua ditata apik dalam sebuah replika perahu nelayan. Perahu ini berukuran 5 meter dengan warna serta ornamen umbul-umbul, persis perahu yang digunakan nelayan saat melaut inilah yang dinamakan dengan gitik. Setibanya di TPI, sesaji langsung disambut enam penari gandrung yang kemudian membawa sesaji tersebut ke atas kapal. Saat ini lah, warga berebut naik kapal pengangkut sesaji karena meyakini bisa mendapatkan berkah. Selain juga untuk berselfie ria dengan latar belakang view cantik rangkaian sesaji dan hamparan birunya Laut. Kapal yang membawa sesaji itu kemudian mulai bergerak ke tengah samudera bersama iring-iringan puluhan kapal lainnya. Kapal beraneka motif dan warna berpadu di sana. Simbol nilai seni yang tiada tara, wujud estetika kelokalan yang tiada duanya. Bunyi mesin diesel menderu membelah ombak Samudera Indonesia. Suara gemuruh sound-system juga menggema di setiap armada. Lambaian umbul-umbul yang tersapu angin menambah suasana semarak di tengah samudra, namun tetap sakral. Selanjutnya, iring-iringan berhenti di sebuah lokasi berair tenang, dekat semenanjung Sembulungan. Di kawasan yang sering disebut Plawangan inilah ritual inti dilakukan. Dimana sesaji dilarung ke laut di bawah pimpinan seorang sesepuh nelayan. Teriakan syukur sontak menggema saat sesaji jatuh dan tenggelam ditelan ombak. Para nelayan bergegas menceburkan diri ke laut berebut mendapatkan sesaji. Sesekali mereka juga terlihat menyiramkan air yang dilewati sesaji ke seluruh badan perahu. “Kami percaya air ini menjadi pembersih malapetaka dan diberkati ketika melaut nanti,” kata Asnawi, salah satu nelayan yang mengikuti rangkaian ritual itu. Dari Plawangan, arak-arakan perahu bergerak menuju Sembulungan, sebuah semenanjung kecil di tengah perairan laut Muncar. Di tempat ini, nelayan kembali melarung sesaji untuk ke dua kalinya. Hanya saja jumlah sesajinya lebih sedikit. Konon, ini memberikan persembahan bagi penunggu tanjung Sembulungan. Usai melarung sesaji di Sembulungan, ritual dilanjutkan tabur bunga ke Makam Sayid Yusuf yang ada di semenanjung itu, kemudian diakhiri dengan selamatan dan doa bersama. Sayid Yusuf adalah orang pertama yang membuka lokasi Tanjung Sembulungan.